Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cara Mendidik Anak Islami Ala Imam Al-Ghazali

Ning Imaz Fatimatuz Zahra dari Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur memaparkan metode parenting Islami atau cara mendidik anak secara Islami. Ia melakukan kombinasi antara metode parenting kekinian dengan ajaran Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.

“Sebetulnya dalam Ihya itu banyak sekali, ada enam belas materi mengenai anjuran dan juga cara mendidik anak. Namun mungkin akan sedikit saya sederhanakan, serta sedikit dikombinasikan dengan parenting modern,” ungkap Ning Imaz, dalam tayangan kanal YouTube NU Online, Jumat (12/9/2021).

Berikut Ini Cara Mendidik Anak Islami Ala Imam Al-Ghazali

Cara mendidik anak islami ala Imam Al-Ghazali

Pertama, ungkap Ning Imas, membiasakan hal yang baik, melarang kebiasaan buruk serta mengatur jadwal anak. Seperti mengatur jadwal tidur dan makan. Anak membutuhkan "peta" yang disediakan oleh orang tuanya supaya anak terbiasa melakukan hal-hal yang baik. Karena ketika mengantuk anak belum mengerti waktu tidur, demikian pula ketika anak mulai merasa lapar.

“Mengkomunikasikannya belum bisa, sehingga kita ini yang harus membacanya yaitu dengan mengatur jadwalnya, dengan memahami polanya, serta mendisiplinkan dia secara perlahan,” ungkapnya.

Kedua, kata dia, mendidik akhlak serta karakter anak supaya menjadi pribadi yang baik dengan menanamkan nilai-nilai luhur. Seperti menanamkan kejujuran, bertutur kata yang baik, memiliki sopan santun, serta memiliki kasih sayang. Selain itu, Anak mestinya dikenalkan dan didekatkan kepada orang-orang saleh, serta memberinya lingkungan dan teman-teman yang baik.

“Ini penting sekali, karena kehidupan berteman itu seperti halnya keluarga kedua bagi si anak. Maka memang harus kita kondisikan bahwa ia akan bersama dengan teman-teman yang baik yang akan membawa pengaruh baik pula kepadanya,” imbuh founder @perempuanmengaji.

Ketiga, lanjutnya, orang tua hendaknya memberi makanan yang halal dan bergizi kepada anak karena makanan akan mempengaruhi terhadap karakter anak. Misalnya ketika diberi makanan haram, anak akan sulit untuk diatur dan diarahkan.

Keempat, hendaknya orang tua mendahulukan tarbiyah dan ta'dib, mendidik karakter serta akhlaknya dibanding ta'lim atau pendidikan intelektualnya. Karena pendidikan intelektual itu bisa dikejar, namun pendidikan karakter dan pendidikan akhlak jika sudah terlanjur buruk akan sulit dibenahi,” ungkap santri putri yang menyukai bahtsul masail ini.

Ditambahkannya, orang tua diharapkan tidak terlalu menekan anak tapi juga tidak membiarkan. Hal ini bertujuan supaya anak bisa terkontrol dengan baik. Seperti halnya telur, jika dibiarkan akan menggelinding tanpa arah dan jika ditekan akan pecah, maka telur tersebut perlu diarahkan atau ditempatkan pada wadahnya.

Kelima, sambungnya, dalam mengingatkan anak hendaknya orang tua bertutur kata yang baik dan tidak terlalu keras atau tidak terlalu menekan. Karena mencegah kemungkaran dengan cara yang kasar atau keras akan menyebabkan kemungkaran yang lebih besar.

“Jangan sering menghardik anak atau mengomeli anak, karena semakin sering dimarahi akan membuat anak meremehkan teguran dan juga ringan melakukan keburukan. Jadi memang segala sesuatunya itu harus terukur seperti halnya obat,” jelasnya.

Ning Imas menganalogikan teguran seperti obat antibiotik. Jika diberikan terlalu sering akan menciptakan resistensi yang membuat antibiotik tersebut tidak berfungsi dengan baik. Begitu juga dengan teguran, jika terus diberikan akan membuat anak mengabaikan orang tuanya. “Jangan memberikan tantangan yang terlalu berat, tapi juga jangan tidak memberikan tantangan, sehingga dia tidak memiliki motivasi. Jadi mendidik ini perlu keseimbangan,” jelasnya.

Keenam, lanjut Ning Imas, orang tua diharapkan tidak melarang anaknya untuk bermain dan dituntut hanya belajar saja, sebab hal itu justru akan menghilangkan minat anak terhadap pembelajaran. Selama anak dilarang bermain, selama itu pula anak akan mencari cara lari dari pembelajaran tersebut. “Karena dianggap sebagai problem, belajar itu sulit, belajar itu menekan, belajar itu tidak enak yang akhirnya dia itu tidak mau belajar lagi. Ini akibat dari terlalu menekan dan juga tidak memberikan kesempatan bermain,” terangnya.

Menurut Ning Imaz, Imam Ghazali juga menyarankan ketika sudah selesai belajar, anak diberikan permainan yang bisa menghibur, tetapi tidak membuatnya lelah dengan permainan tersebut. Misalnya diberikan sesuatu yang disenangi untuk dijadikan hiburan setelah dia belajar. Ketujuh, kata Ning Imas, ketika sudah tamyiz atau di usia 7 tahun, anak harus diajarkan melaksanakan kewajiban. Misalnya, berwudlu, shalat, puasa dan melaksanakan hal-hal yang baik. “Kita mengajarinya secara pelan-pelan, supaya anak terbiasa melakukan kewajibannya sebagai seorang Muslim,” pintanya.  

Tips Membangun Kebiasaan Baik Bagi Anak Untuk memiliki karakter yang baik pada diri anak mesti dibangun dari kebiasaan yang baik. Mengenai hal ini, Ning Imas membagikan beberapa tips membangun kebiasaan baik bagi anak.

“Pertama, dengan memperlihatkan dan mencontohkan hal-hal baik di depan anak. Misalnya kita ingin anak kita ini suka membaca Al-Qur’an, maka kita harus membacanya di depan anak tersebut, supaya anak ini sering melihat, supaya Al-Qur’an itu menjadi familiar terhadapnya,” jelasnya.

Kedua, sambungnya, membuat hal baik menjadi menarik. Misalnya melaksanakan shalat bareng dengan orang tua atau saudara yang lain. “Ini akan membuat si anak merasa bahwa ibadah ini ‘seru ya ternyata'. Berarti ingin melakukannya lagi, (karena) menarik,” ujarnya.

Ketiga, lanjutnya, memberikan tarbiyah atau pendidikan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak, jika anak dituntut banyak hal justru akan membuat anak tersebut kehilangan motivasi belajar. “Bisa membaca Iqra saja atau Fatihah saja, ya diterima. Jangan terlalu menuntutnya untuk membaca satu juz ataupun dua juz Al-Qur’an. Itu kurang bijaksana dan justru anak akan kehilangan motivasi,” terangnya. 

Keempat, kata dia, sering memberikan apresiasi kepada anak ketika sudah berhasil memecahkan tantangan atau permasalahan. Hal demikian bisa merasa puas dan memompa motivasi untuk melakukan hal lebih banyak lagi.  “Misalnya dia berhasil khatam Juz Amma, maka kita perlu mengapresiasinya sebagai bentuk bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang berharga dan anak ini merasa puas,” imbuhnya.

Terakhir, lanjutnya, hal yang perlu digarisbawahi dalam mendidik anak adalah akhlak, beresensi dan berlandaskan kasih sayang. Tidak hanya berlandaskan ambisi ingin mencetak anak menjadi seperti diinginkan karena anak adalah manusia yang punya kehendak dan kemampuan berpikir.

“Yang kita perlu lakukan sebagai orang tua adalah menggiring kemampuan tersebut supaya tidak salah jalan, supaya anak ini tetap dalam koridor syariat yang benar,” pungkas perempuan muda yang hafal Al-Qur’an itu, mengakhiri penjelasan.

Sumber: https://nu.or.id/nasional/cara-mendidik-anak-islami-ala-imam-al-ghazali-DY6Cn


Posting Komentar untuk "Cara Mendidik Anak Islami Ala Imam Al-Ghazali"