Mengenal KH Achmad Siddiq, Pencetus Trilogi Ukhuwah
Daftar Isi
KH Achmad Siddiq merupakan ulama progresif di zamannya. Ia lahir sebagai putra bungsu dari pasangan KH Muhammad Siddiq dengan Nyai Maryam. Kiai Achmad lahir di Talangsari, Jember, Jawa Timur pada 10 Rajab 1344 H/24 Januari 1926, tepat satu Minggu sebelum NU berdiri.
Sejak kecil, ia mulai mendalami ilmu agama langsung di dalam pesantren yang diasuh orang tuanya. Hal itu dilakukan sembari belajar di Sekolah Rakyat Islam di Jember.
Lalu masa remajanya, Kiai Achmad Siddiq melanjutkan studinya dengan mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Saat mondok itu, ia seangkatan dengan KH Sullam Samsun, KH Munasir Ali, dan KH Muchit Muzadi.
Kemudian beliau menikah pada 23 Juni 1947 dengan seorang wanita bernama Solehah yang kemudian meninggal tahun 1955. Setelah istirnya wafat, ia menikah kembali dengan Nyai Nihayah, yang kemudian dikaruniai 13 putra-putri, tetapi dua di antaranya meninggal.
Kiai Achmad Siddiq terpilih sebagai Rais Aam PBNU pada Muktamar Ke-27 NU di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1984. Ia ditunjuk bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU oleh KH As'ad Syamsul Arifin selaku Ahlul Halli wal Aqdi.
Sebagai pemegang otoritas tertinggi di NU, Kiai Achmad tentu bukanlah orang sembarangan. Ia memiliki pengalaman yang kaya. Ia pernah menjadi anggota DPR RI pada Pemilu tahun 1955.
Setelah tak berkecimpung dalam politik praktis, Kiai Achmad Siddiq sejak tahun 1970 lebih fokus menekuni bidang dakwah dan memimpin pondok pesantren di Jember peninggalan almarhum ayahnya.
KH Achmad Siddiq juga menuangkan gagasannya dalam bentuk karya tulis yang telah diterbitkan, antara lain.
1. Pedoman berpikir Nahdlatul Ulama (FOSSNU Jatim, 1969)2. Khittah Nahdliyyah (terbit pertama di Jember, April 1979)3. Islam Pancasila dan Ukhuwah Islamiyah (wawancara dengan Fahmi D. Saifuddin, LTNNU, 1985)4. Pemikiran KH Achmad Siddiq (Aula, 1992)5. Al-Hajj Ahmad Shiddiq al-Maulud fi Jimbar (tanpa tahun)6. Dzikru al-Ghafilin liman Ahabba an Yasraha maa al-Auluya wa ash-Shalihin Majmuah (tanpa tahun)7. Achmad Shiddiq al-Aurad fi al-Ma'had al-Islami ash-Shiddiqi Majmu'ah (1412 H)
Kiai Achmad Siddiq wafat di Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya pada 23 Januari 1991 dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Aulia di Desa Mojo, Kediri atas permintaan KH Hamim Tohari Djazuli Ploso Kediri saat masih hidupnya.
Kepemimpinannya dalam NU dilanjutkan oleh KH Ali Yafie yang sebelumnya menjadi Wakil Rais Aam hingga tahun 1992 sebelum digantikan oleh KH Ilyas Ruhiat.
Trilogi Ukhuwah dan Khittah Nahdliyah
Selain prestasi luar biasa diatas, terdapat Gagasan penting KH Achmad Siddiq yang dibentuk dalam istilah-istilah persaudaraan untuk merekatkan sekaligus menata hubungan manusia dalam perspektif keagaaman Islam.
Istilah-istilah tersebut yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga negara), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Tiga istilah ini yang kemudian dikenal dengan trilogi ukhuwah.
KH Abdul Muchit Muzadi dalam bukunya yang berjudul NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran (Refleksi 65 Tahun Ikut NU) menyebut bahwa banyak kritik bernada sinis ketika hal tersebut dicanangkan Kiai Achmad Siddiq.
Ada yang menganggapnya mengada-ada, melakukan penambahan yang tidak perlu, hingga tuduhan berlebih-lebihan ‘mendekati’ kaum non-Muslim. Padahal, trilogi ukhuwah itu dirumuskan dengan landasan agama yang kuat, yakni Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 dan Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 70.
Selain trilogi ukhuwah, Kiai Achmad Siddiq juga merumuskan Khittah Nahdliyyah. Baginya, hal itu sangat penting dirumuskan terlebih sejak NU menjadi partai. Hal itu disebabkan berbagai hal. Dalam Dinamika Kaum Santri: Menelisik Jejak dan Pergolakan Internal NU (1983), disebutkan empat hal, yakni (1) semakin jauhnya jarak waktu antara generasi pendiri dengan generasi penerus; (2) semakin luasnya medan perjuangan dan banyaknya jumlah dan macam bidang yang ditangani; (3) semakin banyaknya jumlah dan macam ragam mereka menggabungkan diri pada NU dengan latar belakang pendidikan dan subkultur yang berbeda-beda; serta (4) semakin kurangnya peranan dan jumlah ulama generasi pendiri dalam pimpinan NU.
Khittah Nahdliyiah merupakan garis-garis besar pandangan tingkah laku perjuangan NU dengan landasan wawasan keagamaan. Sebab, menurutnya, NU didirikan oleh para ulama yang sebelumnya sudah memiliki kesamaan dalam wawasan keagamaannya, meliputi pandangan, sikap dan tatanan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam, hingga tingkah laku sehari-hari.
Sumber : NU.or.id
Posting Komentar