Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

7 Sastrawan Indonesia Yang Terkenal Pada Eranya beserta Karyanya

Sastrawan Indonesia - Sebagai seorang anak muda sang penerus bangsa, sudah seharusnya kita menghormati para pejuang negri ini dengan berbagai cara, salah satunya dengan membaca, memahami dan mengenal para Sastrawan Indonesia. 

Sudah tau belum apa itu Sastrawan Indonesia ? 

Sastrawan Indonesia berasal dari dua kata yaitu Sastra dan Indonesia. Sastra Indonesia sendiri merupakan sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Sedangkan Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah politik di wilayah tersebut.

Sastrawan Indonesia tidak hanya memiliki pengaruh di bidang bahasa dan sastra juga. Mereka juga banyak yang ikut membantu mengubah keadaan bangsa Indonesia ini melalui seni tulisannya.

Nah agar kita lebih tau sastrawan indonesia yang terkenal pada masanya beserta karya tulisannya, mari kita simak artikel ini sampai selesai

7 Sastrawan Indonesia Yang Terkenal beserta Karyanya

Di era Balai Pustaka, para sastrawan Indonesia lebih banyak menghasilkan karya dengan genre roman. Periode Balai Pustaka ini dimulai dari tahun 1920 sampai tahun 1930.

Pada saat itu, masih ada pembatasan karya oleh Pemerintah Belanda. Hal itu membuat dunia sastra didominasi oleh orang Sumatera pada saat itu. Ini juga membuat ciri khas dari karya sastra Balai Pustaka.

Karya sastranya dikenal kental dengan bahasa Melayu Tinggi. Berikut ini adalah profil salah satu sastrawan Indonesia era Balai Pustaka:

Amir Hamzah

Amir Hamzah memiliki nama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indera Poetera. Ia lahir pada tanggal 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur. Amir Hamzah adalah sastrawan Indonesia yang sangat terkenal pada masanya.

Ia lahir di dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu, yaitu Kesultanan Langkat. Awal mula Amir Hamzah menulis sebuah puisi adalah ketika masih remaja. Meskipun karya-karyanya tidak memiliki tanggal, tetapi awal diperkirakannya tulisannya adalah ketika ia melakukan perjalanan ke Jawa.

Tulisan-tulisannya menggambarkan beberapa hal. Seperti pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Sastra Timur dan Kekristenan. Total karya Amir Hamzah adalah telah menulis sekitar 50 puisi, 18 prosa dan karya lainnya.

Ia juga menerjemahkan sebuah karya. Pada tahun 1932, ia turun mendirikan majalah sastra Pujangga Baru. Amir mulai menyiarkan sajak karyanya ketika tinggal di kota Solo. Pada majalah berjudul Timboel yang diasuh oleh Sanusi Pane, Amir menyiarkan puisinya.

Puisi yang disiarkannya berjudul “M4buk” dan “Sunyi”. Puisi tersebut menandai debutnya sebagai sastrawan Indonesia. Sejak saat itu, banyak karya sastra yang Amir buat. Berikut ini adalah contoh salah satu puisi karya Amir Hamzah:

Di Dalam Kelam

Kembali lagi marak-semarak

jilat melonjak api penyuci

dalam hatiku tumbuh jahanam

terbuka neraka di lapangan swarga

Api melambai melengkung lurus

merunta ria melidah belah

menghangus debu mengitam belam

buah tenaga bunga suwarga

Hati firdausi segera sentosa

Murtad merentak melaut topan

Naik kabut mengarang awan

menghalang cuaca nokta utama

Berjalan aku di dalam kelam

terus lurus moal berhenti

jantung dilebur dalam jahanam

kerongkong hangus kering puteri.

Meminta aku kekasihku sayang;

turunkan hujan embun rahmatmu

biar padam api membelam

semoga pulih pokok percayaku.

Baca juga Biografi Singkat Soekarno, Sang proklamator Kemerdekaan

Sastrawan Indonesia Era Pujangga Baru

Era sastra Indonesia selanjutnya berganti nama menjadi era Pujangga Baru. Sebutan Pujangga Baru berawal dari salah satu majalah sastra dan budaya. Majalah tersebut bernama “Poedjangga Baroe”.

Majalah tersebut terbit pada tanggal 29 Juli 1933. Pada umumnya, para sastrawan Indonesia era Pujangga Baru ingin berkarya tanpa ingin adanya campur tangan dari para kolonial belanda.

Salah satu karya sastra Angkatan Pujangga baru yang masih sangat fenomenal hingga saat ini adalah Layar Terkembang. Karya tersebut dibuat oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Berikut ini adalah profil salah satu sastrawan Indonesia era Pujangga Baru:

Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana atau yang biasa disebut STA adalah seorang sastrawan, budayawan, sekaligus seorang ahli tata bahasa Indonesia. STA lahir di Mandailing Natal, Sumatera Utara tanggal 11 Februari 1908.

Perjalanan karier STA sangat panjang dan beragam. Terutama pada bidang bahasa, sastra dan seni. Pada tahun 1930, STA pernah menduduki posisi redaktur di Balai Pustaka dan Panji Pustaka. Kemudian ia juga mendirikan sekaligus meimpin majalah Poedjangga Baroes pada tahun 1933 sampai tahun 1942, dan dari tahun 1948 sampai tahun 1953.

Pada tahun 1942 sampai tahun 1945, STA berprofesi menjadi seorang penulis ahli. Selain itu, STA juga menjadi anggota Komisi Bahasa Indonesia di Jakarta. Kemudian pada tahun 1945 sampai tahun 1950, STA menjabat sebagai Ketua Komisi Bahasa Indonesia.

Selain itu, pada tahun 1946 sampai tahun 1948, STA pernah menjadi dosen di Universitas Indonesia. Kemudian pada tanggal 15 Oktober 1949, STA mendirikan sebuah universitas. Universitas tersebut bernama Universitas Nasional.

Pada saat itu STA langsung menduduki posisi sebagai rektor di Universitas tersebut. Tidak hanya itu, STA pernah aktif di dunia politik. Ia beberapa kali pernah masuk menjadi anggota legislatif.

STA pernah menjadi anggota parlemen pada tahun 1945 sampai tahun 1949. Menjadi anggota konstituante pada tahun 1950 sampai tahun 1960. Kemudian menjadi anggota Nasional Indonesia.

Ada banyak karya yang dihasilkan oleh STA. Akan tetapi, karya nya yang paling terkenal adalah novel Layar Terkembang  dan novel Dian yang Tak Kunjung Padam. Kedua novel tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka. Selain dua karya tersebut, beberapa karya lain dari Sutan Takdir Alisjahbana adalah sebagai berikut:

  • Novel Tak Putus Dirundung Malang (1929)
  • Kumpulan Sajak Tebaran Mega (1935)
  • Tata bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
  • Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)
  • Pembimbing ke Filsafat (1946)
  • Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
  • Kumpulan Esai Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (1977)
  • DLL

Sastrawan Indonesia Angkatan 45

Periode selanjutnya adalah periode sastrawan Indonesia Angkatan 45. Jenis karya sastra pada periode ini dibumbui dengan unsur yang realistis. Dimana konteks dari tulisan itu sendiri lebih dipentingkan.

Sedangkan kaidah kebahasaannya tidak terlalu. Pada periode ini, melahirkan banyak nama sastrawan Indonesia yang menjadi besar. Bahkan, nama-nama tersebut masih terkenal sampai hari ini. Berikut ini adalah profil salah satu sastrawan Indonesia Angkatan 45:

Chairil Anwar

Chairil Anwar lahir pada tanggal 26 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara. Ia adalah anak tunggal dari pasangan Saleha dan Toeloes. Keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Chairil Anwar juga masih memiliki ikatan keluarga dengan Soetan Sjahrir, yang merupakan seorang Perdana Menteri pertama di Indonesia.

Pada tahun 1942, saat usianya menginjak 20 tahun, nama Chairil Anwar dikenal banyak orang. Khususnya di dunia sastra. Hal itu terjadi setelah pemuatan puisinya yang judulnya Nisan.

Chairil Anwar adalah sastrawan Indonesia yang dikenal dengan beragam puisinya. Hampir semua puisi yang Chairil tulis mengambil tema kematian. Ketika pertama kali ia mengirim puisinya ke majalah Pandji Pustaka untuk dicetak, banyak karyanya yang ditolak.

Sebab, karya-karya Chairil dianggap terlalu individualis. Tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Banyak karya-karya yang dibuat oleh Chairil. Salah satunya adalah puisi yang berjudul Aku.

  • Aku
  • Kalau sampai waktuku
  • ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
  • Tidak juga kau
  • Tak perlu sedu sedan itu
  • Aku ini binatang jalang
  • Dari kumpulannya terbuang
  • Biar peluru menembus kulitku
  • Aku tetap meradang menerjang
  • Luka dan bisa kubawa berlari
  • Berlari
  • Hingga hilang pedih peri
  • Dan aku akan lebih tidak perduli
  • Aku mau hidup seribu tahun lagi
  • Sastrawan Indonesia Angkatan 50-an

Masa sastrawan Indonesia selanjutnya adalah Angkatan 50-an. Angkatan 50-an adalah masa-masa sastra peralihan. Peralihan yang dimaksud adalah peralihan dari situasi dan kondisi peran, menjadi sebuah perdamaian.

Umumnya, karya sastra Angkatan 50 didominasi oleh kumpulan puisi dan cerita pendek. Pada sastrawan Indonesia yang berhasil menciptakan karya terbaiknya pada tahun 50-an adalah para sastrawan-sastrawan yang muda.

Berikut ini adalah profil salah satu sastrawan Indonesia Angkatan 50:

Taufiq Ismail

Taufiq Ismail adalah salah satu sastrawan Indonesia yang senior. Ia dibesarkan di Pekalongan di dalam keluarga wartawan dan guru. Akibat dari pengaruh lingkungan, profesi sebagai seorang wartawan dan guru pernah ia lakoni.

Kariernya sebagai seorang penyair berawal dari kegiatannya menulis puisi demonstran. Puisi-puisi tersebut terkumpul di dalam Tirani dan Bentang pada tahun 1966. Ia dikenal sebagai penyair partisipan di dalam aksi demonstran yang terjadi tahun 1966.

Pada tahun 1970, terbitlah kumpulan Puisi-Puisi Sepi. Kemudian disusun kembali pada tahun 1972, dengan Buku Tamu Musium Perjuangan.

Taufiq menulis puisi anak-anak, kemudian menghasilkan buku kumpulan puisi. Buku tersebut berjudul Kenalkan Saya Hewan, terbit pada tahun 1973. Masih banyak karya Taufiq Ismail yang sangat berpengaruh di dunia sastra maupun di Indonesia.

Tidak hanya karyanya saja yang banyak. Ia juga menerima banyak penghargaan, di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)
  • Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
  • South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
  • Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
  • Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999)
  • Doctor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)
  • Sastrawan Indonesia Angkatan 70-an

Periode sastrawan selanjutnya adalah Angkatan 70-an. Pada Angkatan ini, sastrawan Indonesia lebih berani melakukan sebuah eksperimen. Angkatan 70 ini lahir dari titik tolak sesuatu yang bersifat tradisional.

Pada periode ini, penerbitan perlahan bangkit kembali. Kemudian mencetak karya dari para sastrawan Indonesia. Beberapa sastrawan yang ada di era 70-an masih didominasi oleh sastrawan dari era 50-an.

Berikut ini adalah profil salah satu sastrawan Indonesia Angkatan 70-an:

Putu Wijaya

Putri Wijaya adalah salah satu sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai cerpenis, novelis, dramawan dan wartawan. Ia lahir di Puri Anom, Tabanan  Bali pada tanggal 11 April 1944. Memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya.

Melalui namanya, sudah diketahui bahwa iq adalah keturunan bangsawan. Ayahnya adalah I Gusti Ngurah Rakam

Dalam perjalanan karier, ia dikenal sebagai seorang penulis naskah drama. Dari tangannya lah lahir beberapa naskah drama. Naskah drama yang ia tulis adalah drama modern dengan aliran arus kesadaran.

Naskah drama yang ia tulis tidak sama dengan naskah drama konvensional. Di samping hal itu, Putu Wijaya juga menulis beberapa novel. Lagi-lagi novel yang ia tulis memiliki aliran yang baru.

Novel yang ia tulis juga bercorak “absurd” dan “arus kesadaran”.

Tidak hanya itu, ia juga menulis sebuah cerita pendek. Vaik dari buku maupun yang sudah terbit di surat kabar atau majalah. Sama seperti karya lainnya, cerita pendek yang ditulis oleh putu wijaya menampilkan aliran kesadaran baru.

Berikut ini adalah salah satu puisi yang diciptakan oleh Putu Wijaya berjudul Raksasa:

  • Raksasa
  • Di dalam mimpiku ada raksasa
  • Taringnya sebesar pohon kelapa
  • Kepalanya gundul sekeras baja
  • Dari Mulutnya menyembur kata-kata jahat
  • Hai anak kecil kamu tak usah rajin
  • Buang buku ayo main di jalanan
  • Jangan dengar kata orang tua
  • Ikut ogut berpesta pora
  • Tetapi aku bukan anak ingusan
  • Tubuhku masih kecil tapi hatiku besar
  • Ibu sudah melatihku jadi kuat
  • Dan papaku tak senang aku bodoh
  • Guruku di sekolah selalu bilang
  • Hati-hati dengan orang jahat
  • Mulutnya manis tetapi akibatnya berat
  • Raksasa itu marah dan merengut
  • Karena aku tak sudi tekuk lutut
  • Dari mulutnya keluar api panas
  • Tangannya mau mencekik ganas
  • Hai anak berani, katanya marah
  • Kalau kau bandel awas kumamah
  • Lau menganga taringnya berkilat
  • Lalu melompat mau menyikat
  • Aku tenang tapi waspada
  • Tidak teriak takut pun bukan
  • Sambil berdoa aku bertindak
  • Keluarkan raportku serentak
  • Angka delapan, sembilan, dan sepuluh
  • Meloncat melilit raksasa
  • Dalam sekejap mata ia menyerang
  • Ampun, jerit raksasa ketakutan
  • jangan ikat aku dengan angka
  • Aku berjanji tak lagi nakal
  • Mengganggu anak yang rajin belajar
  • Dalam tidurku muncul raksasa
  • Tetapi ia sudah kapok
  • Sekarang setia menjaga tidurku
  • Sambil belajar membaca

Sastrawan Indonesia Era Reformasi

Pada masa-masa reformasi, tidak hanya dihiasi dengan kisah politik dan pemerintahan saja. Karya sastra juga bertebaran pada masa itu. Munculnya sastrawan Indonesia angkatan reformasi ditandai dengan maraknya karya sastra yang bertemakan sosial politik.

Selain itu, banyak karya sastra yang membahas seputar reformasi. Para sastrawan Indonesia era reformasi merefleksikan keadilan sosial serta sistem politik yang terjadi. Terutama pada akhir 1990 an.

Para sastrawan pada masa itu menorehkan karya yang monumental. Berikut ini adalah salah satu profil sastrawan Indonesia era reformasi:

Wiji Thukul

Wiji Thukul memiliki nama asli Wiji Widodo. Ia lahir di Sorogenen, Solo pada 26 Agustus 1962. Ayahnya adalah seorang penarik becak. Ibunya menjual ayam bumbu untuk membantu dalam hal ekonomi keluarga.

Nama “Thukul” memiliki arti tumbuh. Nama tersebut disematkan oleh Cempe Lawu Warta. Cempe Lawu Wartha adalah salah satu kerabat Wiji Thukul. Mereka bertemu ketika ia aktif bergabung teater di Sarang Teater Jagat.

Jagat sendiri adalah Jagalan Tengah. Maka, Wiji Thukul memiliki arti biji yang bertumbuh.

Wiji Thukul adalah salah satu sastrawan yang sangat berpengaruh pada masa reformasi. Ada cerita panjang di balik karya-karyanya. Seperti cerita bagaimana ia dan kerabatnya membentuk perkumpulan untuk melawan pemerintah pada saat itu, kisahnya yang harus terus berpindah tempat dan berganti identitas, sampai kisah hilangnya sampai saat ini.

Meskipun keadaan orde baru mencekam, hal itu tidak membuat Wiji Thukul takut. Justru ia melawan menggunakan sebuah karya. Seperti dialog yang selalu diucapkan dengan mengembara Hanya ada satu kata “Lawan”.

Meskipun sampai saat ini ia tidak ditemukan, tetapi karya-karya nya masih melekat di hati. Semua perjuangan yang ia lakukan melalui karya tidak akan pernah terlupakan. Berikut ini adalah salah satu puisi karya Wiji Thukul yang sangat terkenal:

Peringatan

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

Sastrawan Angkatan 2000

Setelah era reformasi, lahirlah sastrawan Indonesia angkatan 2000. Semasuki angkatan 2000 memiliki gaya sastra yang semakin mengandalkan kekuatan literasi. Selain itu, angkatan ini juga mengungkapkan cerita secara estetik yang ada di dalam karya sastra tersebut.

Banyak nama-nama sastrawan Indonesia yang lahir kemudian besar pada angkatan 2000-an. Berikut ini adalah salah satu profil sastrawan Indonesia angkatan 2000-an:

Ayu Utami

Ayu Utami dikenal sebagai seorang novelis. Ia lahir pada tanggal 21 November 1968, di Bogor. Ayahnya adalah Johanes Hadi Sutaryo. Ibunya memiliki nama Bernadeta Suhartinah.

Awal mula debutnya di dunia karya sastra adalah karena novelnya yang berjudul Saman. Novel yang berjudul Sama ini adalah novel pemenang dalam sayembara penulisan roman, yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998.

Kehadiran Ayu Utami dan novelnya yang berjudul Saman ini mengundang begitu banyak kontroversi. Akan tetapi, terlepas dari semua itu, novel ini tetap mendapatkan banyak pujian.

Selain itu, novel tersebut juga tergolong sebagai novel yang laris atau best seller. Dalam waktu tiga tahun, novel Saman sudah terjual 55 ribu eksemplar.

Berkat novel Sama juga, Ayu Utami berhasil mendapatkan Prince Claus 2000 dari Prince Claus Fund. Itu adalah sebuah yayasan yang markasnya berada di Den Haag, yang memiliki misi memajukan dan mendukung kegiatan di bidang pembangunan dan budaya.

Sejak munculnya novel Saman, Ayu Utami dikenal sebagai seorang penulis dengan ciri keterbukaan baru. Ia tidak takut mengangkat hal-hal berbau seksualitas di dalam karyanya.

Beberapa karya Ayu Utami adalah sebagai berikut:

  • Larung (2002)
  • Kumpulan Esai Si Parasit Lajang (Gagas Media, Jakarta, 2003)
  • Bilangan Fu (2008)
  • Lalita (Gramedia Pustaka Utama, 2012)

Itulah beberapa profil sastrawan Indonesia dari berbagai era atau angkatan beserta karya populernya. artikel ini dikuti dari laman resmi gramedia.com. semoga bermanfaat.

Baca juga Biografi Tokoh Lainnya :

Posting Komentar untuk "7 Sastrawan Indonesia Yang Terkenal Pada Eranya beserta Karyanya"